Cermati Kemasan buat Makanan

foto


Yadi Haryadi tak sembarangan membeli makanan di luar rumah. Jika membeli, pakar pangan dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor itu memilih warung yang melapisi bungkus makanan dengan daun pisang.

"Saya sudah pilih-pilih, warung mana yang membungkus makanan dengan daun pisang," katanya. Yadi tahu bahwa bahan kimia yang ada dalam pembungkus itu bisa berpindah ke dalam makanan.

Umumnya, penjual makanan menggunakan bungkus kertas, styrofoam, atau plastik. Bungkus macam ini berbahaya. Jika memakai koran bekas lebih berbahaya lagi, karena tinta koran akan berpindah ke dalam makanan. Jika makanan dibungkus tas plastik, bahan kimia plastik juga akan berpindah atau bermigrasi ke makanan. Akibatnya, dalam jangka panjang bisa berpengaruh pada perilaku (attention deficit hyperactivity disorder), mengganggu reproduksi, dan memicu timbulnya kanker.

Migrasi ini dipengaruhi oleh suhu dan rentang waktu makanan disimpan. Semakin panas dan semakin lama makanan berada dalam bungkusan, semakin besar migrasi akan terjadi. Terlebih buat makanan berlemak, berminyak, asam, atau makanan dalam kondisi panas. "Jika beli makanan di luar, lebih baik bawa sendiri bungkus dari rumah," dia menyarankan. Jika terpaksa, lapisi dulu makanan dengan daun pisang atau daun jati sebelum dibungkus dengan plastik, styrofoam, atau kertas.

Tapi bukan berarti tidak ada wadah plastik yang bisa digunakan, bahkan berulang-ulang. Untuk memilih wadah plastik yang baik, kenali nomor kode yang biasanya ada di belakang wadah. Nomor itu memang tidak ada kaitannya dengan keamanan pangan, karena itu hanya kode untuk daur ulang. "Yang penting adalah aman bagi makanan (food grade)," kata Yadi. Keamanan ini bisa dilihat dari logo keamanan. (Lihat: Mengenal Jenis Plastik dan Tanda Aman)
Jangan pula asal percaya dengan logo keamanan. Kenali juga siapa produsen wadah itu. Karena ada juga produsen yang sembarang memasang tanda aman pada wadah makanan. Yadi pernah menemukan ada styrofoam yang memakai label food grade.

"Enggak mungkin styrofoam food grade," tuturnya. Sebenarnya, menurut Yadi, selain plastik, ada banyak jenis wadah yang bisa digunakan. Misalnya dari bahan kaca, kaleng, atau melamin. Tapi banyak jenis plastik menjadi favorit karena ringan, tak pecah, dan murah. Namun, karena faktor murah, banyak yang sekali pakai langsung buang. Padahal membuang plastik juga berdampak pada lingkungan.

Menurut guru besar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof dr Umar Fahmi Achmadi, MPh, PhD, plastik yang dibuang memerlukan waktu lama agar bisa terurai dengan tanah. "Butuh waktu hingga 500 tahun," katanya.

Lebih jauh, secara tak langsung, penggunaan plastik juga mempengaruhi iklim. Pencemaran udara, air, dan tanah menyebabkan timbulnya gas rumah kaca. Maka permukaan bumi terselimuti gas rumah kaca dan memantulkan panas. Dampaknya, menurut Umar, iklim berubah dengan drastis. Misalnya, terjadi hujan di tengah kemarau atau kemarau berkepanjangan.

Jika terjadi banjir, pencemaran rumah tangga melebar ke mana-mana dan berdampak pada kesehatan. Jika banjir itu surut, pencemaran tersebut, baik kimia maupun bakteri virus, terkonsentrasi ke dalam air yang dikonsumsi. Sehingga peneyebaran penyakit yang menular melalui udara, air, dan makanan semakin marak. Salah satunya diare.



0 komentar:

Post a Comment