Buka Puasa dengan Rasa Cukup

Puasa bermakna pengorbanan, ketulusan, keikhlasan. Puasa bernilai religi tinggi, sedikit sekali bentuk ibadah yang melebihi keberhargaannya. Tapi justru karena itu esensi dasar ibadah puasa sering dilupakan, padahal esensi dasar itulah yang memberi makna akan pengorbanan, ketulusan, dan keikhlasan pada puasa, juga memberi nilai religi tinggi padanya.

Adalah baik melaksanakan ibadah, apa pun itu, secara berjemaah. Allah pun meridhai umat-Nya yang cinta akan kerukunan, kebersamaan, dan kesatuan hati. Dari situlah ibadah menjadi teraktualisasi, bukan sekadar ritual belaka.

Dalam berpuasa pun, pelaksanaan secara bersama-sama mempunyai sumbangsih yang sangat besar untuk mempertulus ibadah tersebut, yang pada gilirannya, akan berkenan diterima oleh Allah. Sahur yang dilakukan bersama keluarga, dan mungkin juga beberapa handai taulan, memberi kekuatan besar bagi hati supaya lapang dan tetap tabah menahan godaan dan cobaan seharian. Dan pada saat adzan magrib berkumandang, alangkah besarnya nikmat Allah kita rasakan, yang telah memberi kesempatan kepada kita beribadah kepada-Nya satu hari lagi, sekaligus juga memberi kemampuan untuk menjalankannya. Dan betapa lebih lagi nikmat itu terasa bilamana disatukan dengan rasa syukur dari pribadi-pribadi lain yang merasakan nikmat yang sama, keluarga, sahabat, tetangga, dan bahkan juga orang-orang yang baru kita kenal. Saat berbuka sangat dinantikan, bukan hanya karena kelegaannya karena bisa melepas dahaga dan lapar saja melainkan lebih karena kemenangan yang diraih. Apa yang lebih membahagiakan orang yang telah seharian berpuasa selain memandang dan menikmati berkat berupa hidangan berbuka yang sudah disediakan Allah di depan matanya. Bayangkan bila kebahagiaan itu terakumulasi dari beberapa orang! Alangkah semaraknya suasana!

Tapi bukan tidak mungkin, acara buka bersama yang tadinya ramai dan hangat bisa menjadi dingin bahkan bencana. Nafsu manusia terpancing. Orang tidak mementingkan kebersamaan melainkan perutnya sendiri. Makanan yang seharusnya memberi sukacita malah menjadi sumber pertikaian dan perebutan. Apalagi, jika yang berhati rakus tidak cuma satu orang tapi banyak, bahkan mungkin semuanya. Bencana bukan hanya dari segi perebutan makanan dan adanya orang-orang yang tidak kebagian, tapi merembet ke soal yang lebih dalam, yaitu amarah dan rasa dendam yang muncul di hati dari mereka yang merasa jadi “korban”. Padahal, dalam kasus yang ekstrem, semua yang bertikai pasti merasa sebagai “korban” sementara sebenarnya mereka lebih dulu berstatus sebagai “pelaku”.

Keadaan menyedihkan itu memang jarang sekali tapi bukan mengada-ada. Benar, kasus tadi adalah contoh yang paling ekstrem. Tapi pelajarannya adalah kita harus mewaspadai diri kita sendiri. Alih-alih semakin mampu melawan godaan hawa nafsu, sehabis berpuasa justru kita malah semakin liar mengumbar nafsu. Mungkin sekali tidak dalam bentuk kejadian di atas. Tapi hati-hati terhadap yang mengalir di bawah permukaan. Meski tidak terlihat secara eksplisit seperti kasus di atas, tetap tak bisa dipungkiri, kita sangat rapuh terhadap kerakusan, terutama setelah seharian lapar dan haus. Walau tidak sampai menimbulkan perkelahian, tapi kalau kita sudah berlebihan mengambil makanan dan tidak peduli pada orang lain sama sekali, tetap saja kita sudah berdosa, dan puasa kita mubazir jadinya. Di sisi lain, saat kita melihat ada orang yang berbuat hal yang sama, amat mudah hati kita menghakiminya. Cap buruk “orang rakus” enteng sekali kita kenakan padanya. Belum lagi kalau kita kesal karena tidak kebagian makanan yang kita suka. Rasa tidak senang yang menumpuk dan menjadi dendam pun teramat menggoda untuk mau bercokol di hati. Yang lebih celaka, kita bermunafik, tetap bermanis muka dan mulut, padahal hati sudah membara dan mulai membusuk. Lebih celaka lagi, kita menyebarkannya pada orang lain, secara tidak sadar, menghasut mereka agar ikut memberi cap negatif pada orang itu. Berkumpul-kumpul seperti buka puasa demikian rentan terhadap godaan bagi mulut. Gosip subur sekali di situ. Dan keinginan untuk menumbuhkannya pun sangat kuat.

Bagaimana menyiasatinya? Apa yang harus kita lakukan supaya buka bersama tetap menyenangkan dan menggembirakan tidak hanya hati kita, tetapi harusnya terlebih lagi hati Tuhan?

1. Ingat, puasa hanyalah untuk Allah

Kembali kepada pembukaan tulisan ini, esensi dari puasa harus kita temukan kembali, lalu kita tanamkan dalam-dalam di hati dan pikiran kita.

Esensi puasa tidak lain dan tidak bukan adalah ibadah untuk menyenangkan hati Tuhan. Tanpa mengindahkan hal itu, kita akan berpuasa dengan tujuan untuk menyenangkan diri kita sendiri saja. Dan itu adalah musibah besar. Mengapa? Karena, dengan kata lain, kita bilang bahwa diri kitalah yang menjadi tuhan. Implikasinya, kita menempatkan diri di tengah-tengah dan pusat segalanya sebagai penguasa, dan semuanya kita serap kuat-kuat bagi diri kita sendiri saja. Orang harus menghargai “saya”. Makanan ini untuk “saya”. “Saya”-lah yang harus lebih dulu mengambil, dan “saya” berhak mendapat yang terbaik. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Maka, mengembalikan Allah kembali di pusat hidup dan dunia kita menjadikan kita ringan, tidak terbebani lagi oleh ambisi dan keinginan yang terlampau besar untuk disenangkan dan dipuaskan. Takkan lagi kita serakah dan rakus. Takkan lagi kita sakit hati kalau hak kita diserobot orang.

Bukankah itu makna puasa yang setiap tahun kita gadang-gadang?

2. Apa yang diperbuat tangan kanan, tangan kiri tidak boleh tahu

Jika memang puasa hanya kita persembahkan secara eksklusif untuk Allah, maka kita tidak akan peduli apa penilaian orang terhadap diri kita. Akibatnya, kita berpantang bukan karena takut ketahuan dan dilihat orang, tapi karena kita cinta Tuhan. Dampaknya akan nyata sewaktu berbuka puasa bersama. Dengan memegang prinsip itu, kita juga pasti menghargai privasi orang dalam berhubungan dengan Tuhan. Karena itu, prasangka akan menghilang. Bukankah seringkali keserakahan dan kerakusan kita muncul akibat dipicu kekhawatiran kita bahwa orang lain akan mendahului kita dan merebut yang terbaik? Bila prasangka menghilang, kekhawatiran itu pun takkan pernah muncul, dan tidak ada rasa rakus dan serakah yang punya kemungkinan untuk eksis.

3. Ibadah yang disertai rasa cukup akan memberi keuntungan besar

Kalau kita sudah mendapat perkenanan Allah, apa lagi yang bisa melebihi? Apa lagi yang harus kita dapatkan, bukankah Allah itu segala-galanya? Rasa cukup akan lahir dari keyakinan bahwa Allah memberkati kita dan menerima ibadah puasa kita. Dan keyakinan itu hanya bisa lahir dari tekad kita bahwa ibadah puasa hanya kita khususkan bagi Allah semata, seperti dalam poin 1. di atas.

Rasa cukup itu jelas sangat ampuh meredam api keserakahan dan kerakusan. Bencana pun akan terhindarkan. Tapi yang lebih indah, rasa cukup itu sangat mendorong kita untuk terus ingin berbagi dengan orang lain, ingin terus mendahulukan orang lain. Kenapa? Karena kita merasa tidak banyak lagi yang kita butuhkan, sebab senyum Tuhan sudah menjadi milik kita.

Apalagi, jika semua yang hadir dalam acara tersebut memiliki rasa cukup itu.

Jadi, sekarang, selamat berbuka puasa dengan rasa cukup.


sumber : http://samueledward.blogdetik.com/buka-puasa-dengan-rasa-cukup/

0 komentar:

Post a Comment