Sebagai manajer, apa yang dapat Anda lakukan bila seorang karyawan andal di tim Anda hengkang ke perusahaan lain? Berusaha mencegahnya sebelum itu terjadi? Membujuknya dengan iming-iming promosi, sejumlah bonus, atau opsi saham? Mungkin ikhtiar itu membuahkan hasil, tapi bagaimana jika karyawan andal Anda meninggal dunia? Seluruh pengetahuan dan pengalamannya niscaya terkubur bersama karyawan tersebut.
Setiap perusahaan atau organisasi menemui kemungkinan seperti itu. Tiba-tiba saja seorang karyawan meninggal dengan membawa serta pengalaman yang sudah berpuluh tahun ia himpun melalui bekerja, mengikuti pelatihan, atau magang. Ia mungkin hanya sempat berbagi sedikit pengalaman kerja kepada orang-orang di sekitarnya, sejawat sesama manajer, atau anggota tim kerjanya. Tapi niscaya sebagian besar pengetahuan yang ia timba dan pengalaman yang ia gali tidak tertularkan kepada orang lain.
Pengalaman memiliki keunikan dibanding pengetahuan lantaran konteksnya. Pengetahuan yang sama bisa mengalami penyesuaian ketika diterapkan dalam lingkungan kerja yang berbeda. Dan inilah kekayaan khas yang dipunyai oleh tiap-tiap perusahaan, sehingga sebuah model organisasi misalnya tak bisa serta merta di-copy-and-paste untuk dipakai di perusahaan lain. Adaptasi menjadi bagian tak terelakkan dalam pengelolaan perusahaan karena perbedaan ukuran organisasi, jenis usaha, nilai-nilai yang dianut, dsb.
Kepergian seorang karyawan, karena pindah, pensiun, atau meninggal, merupakan situasi yang jamak. Namun, banyak perusahaan yang tidak mempersiapkan diri menghadapi situasi itu dengan sikap pro-aktif. Apabila perusahaan memang betul-betul menempatkan sumberdaya manusia sebagai asset terpentingnya, maka bakat, ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman SDM semestinya memperoleh perhatian utama.
Manajemen pengetahuan (knowledge management) adalah jalan keluar yang dapat ditempuh untuk mengelola pengalaman yang dilalui SDM perusahaan, termasuk kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
Pengetahuan yang diperoleh tiap-tiap karyawan juga bisa dihimpun dan dibagi-bersama (sharing) karyawan lain. Pola berbagi-bersama memungkinkan pengetahuan dan pengalaman tidak tertimbun pada karyawan tertentu. Bukankah seringkali terjadi, seorang karyawan mengikuti workshop yang mahal untuk kemudian pengetahuan dan ketrampilan yang ia peroleh menjadi eksklusif untuk dirinya seorang. Melalui manajemen pengetahuan, karyawan lain yang tidak mengikuti workshop dapat memetik manfaat. Tentu saja, ini juga benefit bagi perusahaan.
Apabila manajemen pengetahuan diadopsi dan dikembangkan perusahaan, sebagian pengetahuan dan pengalaman seluruh karyawan dapat dihimpun dan dibagi-bersama. Siapapun dapat mempelajarinya. Perusahaan pun berkembang menjadi learning organization. Mungkin tidak seluruh pengetahuan dan pengalaman karyawan yang (kemudian) pindah, pensiun, atau meninggal dapat diserap dan dihimpun menjadi pengetahuan perusahaan, namun setidaknya ini mengurangi biaya-biaya yang dibutuhkan untuk membangun-kembali pengetahuan dan pengalaman melalui workshop, pengalaman bekerja, atau magang.
Bayangkan, berapa uang, energi, pikiran, dan terutama waktu yang harus dipakai untuk mengumpulkan pengalaman!
Sayangnya, banyak perusahaan domestik besar sekalipun yang memberi perhatian serius pada manajemen pengetahuan. Ada yang beranggapan mahal, ada pula yang menilainya tidak penting. Tak heran bila banyak perusahaan mengulangi kesalahan yang sama, menyusun uraian kerja berkali-kali setiap kali ganti manajer karena dokumen lama hilang, atau bagian tertentu kebingungan mengatasi masalah karena karyawan yang tahu masalah itu belum lama berselang pindah ke perusahaan yang menawarkan prospek karier lebih baik. Artinya, pengetahuan dan ketrampilan itu tersimpan rapat-rapat di dalam benak karyawan tersebut.
Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Jadi, jangan biarkan pengetahuan dan pengalaman karyawan dibawa pergi oleh si empunya tanpa dibagi-bersama karyawan lain.
0 komentar:
Post a Comment