Beberapa peneliti dari University of Rochester, New York, Amerika melakukan riset mengenai pengaruh positif game. Dalam riset ini gamer usia antara 18-23 tahun dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, gamer yang dilatih dengan game Medal of Honor. Mereka main game ini satu jam tiap hari selama sepuluh hari berturut-turut.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa mereka ternyata lebih memiliki fokus terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, daripada mereka yang jarang main game, apalagi yang tidak main sama sekali. Gamer-gamer itu juga mampu menguasai beberapa hal dalam waktu yang sama.
"Faktanya, video game bergenre action itu menguntungkan," ujar Daphne Bavelier, ahli syaraf dari Rochester. "Hasil penelitian lain dari kami ini juga sangat mengejutkan karena proses belajar lewat main game ternyata cepat diserap seseorang." Dengan kata lain, game sangat membantu melatih serdadu/prajurit atau orang-orang yang memiliki problem dalam berkonsentrasi. "Tapi, ini bukan berarti anak-anak sebaiknya main game daripada mengerjakan PR, loh," tegas Bavelier.
Sementara yang kedua adalah kelompok gamer yang dilatih dengan Tetris. Tak seperti gamer c, gamer Tetris hanya berfokus pada satu hal pada satu waktu.
Setelah pelatihan ini, C. Shawn, rekan Bavelier, juga menyimpulkan bahwa mereka yang main Medal of Honor mengalami peningkatan dalam visual skill. Macam-macam tugas yang terdapat dalam game action (misalnya mendeteksi musuh baru, melacak musuh, menghindari serangan, dll) dapat melatih berbagai aspek dari kemampuan visualisasi.
Di tengah gonjang-ganjing pengaruh buruk yang ditimbulkan video game, banyak dilakukan pula penelitian tentang apa saja yang dapat dipelajari gamer dari video game dan manfaat lainnya. Sayangnya, masih banyak di antara kita yang belum mengetahui bahwa "hasil penelitian tersebut faktual dan valid, dengan kata lain sudah dibuktikan dan dapat dipercaya".
"Game banyak manfaatnya, kok," ujar penulis buku What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy. Jumlah peneliti yang setuju dengan Gee pun makin bertambah.Jika digunakan dengan benar, video game dan game komputer berpotensi sebagai sarana untuk belajar.
Video game yang baik itu menantang, menghibur, sekaligus rumit. Biasanya player butuh waktu 50 sampai 60 jam dengan konsentrasi penuh untuk menamatkan sebuah game. Bahkan anak-anak pun bisa menghabiskan waktu berjam-jam demi gamenya tamat.
"Tapi, anak-anak yang menderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) tidak bisa main game non-stop 9 jam, karena mereka kesulitan untuk berkonsentrasi," jelas Gee. "Game membutuhkan konsentrasi yang berbeda dibandingkan dengan pelajaran di sekolah."
Selama 2-3 tahun mempelajari dampak sosial video game, Gee menemukan bahwa banyak gamer remaja yang pada akhirnya jago komputer. Seorang anak malah sempat jadi asisten dosen waktu ia masih di tingkat satu, soalnya pelajaran itu terlalu gampang baginya. Kata Gee lagi, anak-anak yang hobi main game komputer biasanya tahu lebih banyak soal komputer daripada orangtuanya.
Menstimulasi Proses Belajar
Game komputer dianjurkan menjadi bagian dari kurikulum sekolah setelah para peneliti menemukan nilai-nilai edukasi. Mereka menyimpulkan bahwa game simulasi dan petualangan – seperti Sim City dan Roller Coaster Tycoon, dimana player dapat membangun masyarakat dan taman hiburan – dapat membantu mengembangkan pemikiran strategis dan skill perencanaan pada anak-anak.
Selain itu, para ortu dan guru juga berpendapat game-game dapat meningkatkan kemampuan anak-anak dalam pelajaran matematika, membaca, dan mengeja.
Dalam game Animal Crossing, misalnya, player menjadi karakter yang tinggal di sebuah kota yang penuh dengan binatang. Di tengah game, Anda bisa membeli rumah, bepergian dari satu kota ke kota lain, berkunjung ke museum, dan kegiatan sehari-hari lainnya.
Di sela-sela itu, Anda menuliskan pesan untuk player lain dan bicara kepada binatang. Karena anak-anak pada umumnya suka game ini, jadi mereka sering memainkannya berkali-kali. 'otomatis kemampuan membaca mereka meningkat dengan cepat, walaupun mereka tak suka membaca.
Beberapa waktu lalu diadakan penelitian terhadap 700 anak usia 7 sampai 16 tahun. Lewat hasilnya terungkap bahwa anak-anak pada usia tersebut lebih suka main game berdua atau rame-rame daripada main sendirian. So, siapa bilang gamer itu individualis?
Penelitian lain dilakukan oleh Teachers Evaluating Educational Multimedia (Teem) dari Departemen Pendidikan di Inggris. Profesor Angela McFarlane, Direktur Teem, menegaskan, "Game bernuansa adventure, quest, dan simulasi memiliki banyak manfaat. Game-game ini cukup rumit dan mampu mengembangkan skill-skill penting untuk anak-anak." Tidak termasuk game-game arcade dan shooter, loh.
Bahkan game yang mengandung kekerasan pun memiliki sisi positif, tambah Gee. "Grand Theft Auto 3 tak melulu soal menembak orang," katanya. Ketika game dimulai, karakter Anda baru keluar dari lapas. Anda harus mencarikannya pekerjaan, tapi sayang orang yang Anda kenal semuanya penjahat. Selama game berlangsung memang Anda boleh bertarung dan membunuh orang, tapi itu tidak wajib.
"Game menawarkan banyak pilihan," ujar Gee.Gamer akan menghadapi dilema moral, interaksi sosial, dan juga memecahkan berbagai problem yang sering kali terjadi dalam kehidupan nyata. Begitu tambah Gee. Selain itu game dapat membuat seseorang tertarik pada hal baru.
Habis main game Age of Mythology, kata Gee, anak-anak (seperti anak laki-lakinya yang berumur 8 tahun) mulai suka melihat-lihat buku mitologi di perpustakaan atau chatting dengan grup yang membahas karakter-karakter mitologi. Bagi gamer, sejarah dapat berulang dan hidup kembali lewat game.
Game dan Kesehatan
"Walaupun main game menjadi salah satu hiburan paling populer di dunia dan sudah dilakukan penelitian tentang dampak positif dan negatifnya terhadap player, masih saja game sering kali diremehkan." Itu pernyataan dari Mark Griffiths, profesor di Nottingham Trent University, Inggris. Untuk menyeimbangkan antara pro dan kontra terhadap game, selama lima belas tahun terakhir ini ia melakukan riset. Hasilnya? "Video game aman untuk sebagian besar player dan bermanfaat bagi kesehatan," ujar Griffiths.
Menurut Griffiths, game dapat digunakan sebagai pengalih perhatian yang ampuh bagi anak-anak yang sedang menjalani perawatan yang menimbulkan rasa sakit, misalnya chemotherapy. Dengan main game, rasa sakit dan pening mereka berkurang, tensi darahnya pun menurun, dibandingkan dengan mereka yang hanya istirahat setelah diterapi. Game juga baik untuk fisioterapi pada anak-anak yang mengalami cedera tangan.
Jadi, tak perlu ragu main game! Dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa game juga berpengaruh positif kepada anak-anak. Kesimpulannya:
• Merupakan hiburan yang menyediakan fun dan interaksi sosial.
• Membangun spirit teamwork dan kerja samaketika dimainkan dengan gamer-gamer lain.
• Membuat anak-anak merasa nyaman dan familiar dengan teknologi – terutama anak perempuan, yang tidak menggunakan teknologi sesering anak cowok.
• Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri anak saat mereka mampu menguasai permainan.
• Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan memecahkan masalah.
• Melatih koordinasi antara mata dan tangan, serta skill motorik.
• Mengakrabkan hubungan anak dan orangtua. Dengan main bersama, terjalin komunikasi satu sama lain.
• Membantu memulihkan kesehatan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa mereka ternyata lebih memiliki fokus terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, daripada mereka yang jarang main game, apalagi yang tidak main sama sekali. Gamer-gamer itu juga mampu menguasai beberapa hal dalam waktu yang sama.
"Faktanya, video game bergenre action itu menguntungkan," ujar Daphne Bavelier, ahli syaraf dari Rochester. "Hasil penelitian lain dari kami ini juga sangat mengejutkan karena proses belajar lewat main game ternyata cepat diserap seseorang." Dengan kata lain, game sangat membantu melatih serdadu/prajurit atau orang-orang yang memiliki problem dalam berkonsentrasi. "Tapi, ini bukan berarti anak-anak sebaiknya main game daripada mengerjakan PR, loh," tegas Bavelier.
Sementara yang kedua adalah kelompok gamer yang dilatih dengan Tetris. Tak seperti gamer c, gamer Tetris hanya berfokus pada satu hal pada satu waktu.
Setelah pelatihan ini, C. Shawn, rekan Bavelier, juga menyimpulkan bahwa mereka yang main Medal of Honor mengalami peningkatan dalam visual skill. Macam-macam tugas yang terdapat dalam game action (misalnya mendeteksi musuh baru, melacak musuh, menghindari serangan, dll) dapat melatih berbagai aspek dari kemampuan visualisasi.
Di tengah gonjang-ganjing pengaruh buruk yang ditimbulkan video game, banyak dilakukan pula penelitian tentang apa saja yang dapat dipelajari gamer dari video game dan manfaat lainnya. Sayangnya, masih banyak di antara kita yang belum mengetahui bahwa "hasil penelitian tersebut faktual dan valid, dengan kata lain sudah dibuktikan dan dapat dipercaya".
"Game banyak manfaatnya, kok," ujar penulis buku What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacy. Jumlah peneliti yang setuju dengan Gee pun makin bertambah.Jika digunakan dengan benar, video game dan game komputer berpotensi sebagai sarana untuk belajar.
Video game yang baik itu menantang, menghibur, sekaligus rumit. Biasanya player butuh waktu 50 sampai 60 jam dengan konsentrasi penuh untuk menamatkan sebuah game. Bahkan anak-anak pun bisa menghabiskan waktu berjam-jam demi gamenya tamat.
"Tapi, anak-anak yang menderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) tidak bisa main game non-stop 9 jam, karena mereka kesulitan untuk berkonsentrasi," jelas Gee. "Game membutuhkan konsentrasi yang berbeda dibandingkan dengan pelajaran di sekolah."
Selama 2-3 tahun mempelajari dampak sosial video game, Gee menemukan bahwa banyak gamer remaja yang pada akhirnya jago komputer. Seorang anak malah sempat jadi asisten dosen waktu ia masih di tingkat satu, soalnya pelajaran itu terlalu gampang baginya. Kata Gee lagi, anak-anak yang hobi main game komputer biasanya tahu lebih banyak soal komputer daripada orangtuanya.
Menstimulasi Proses Belajar
Game komputer dianjurkan menjadi bagian dari kurikulum sekolah setelah para peneliti menemukan nilai-nilai edukasi. Mereka menyimpulkan bahwa game simulasi dan petualangan – seperti Sim City dan Roller Coaster Tycoon, dimana player dapat membangun masyarakat dan taman hiburan – dapat membantu mengembangkan pemikiran strategis dan skill perencanaan pada anak-anak.
Selain itu, para ortu dan guru juga berpendapat game-game dapat meningkatkan kemampuan anak-anak dalam pelajaran matematika, membaca, dan mengeja.
Dalam game Animal Crossing, misalnya, player menjadi karakter yang tinggal di sebuah kota yang penuh dengan binatang. Di tengah game, Anda bisa membeli rumah, bepergian dari satu kota ke kota lain, berkunjung ke museum, dan kegiatan sehari-hari lainnya.
Di sela-sela itu, Anda menuliskan pesan untuk player lain dan bicara kepada binatang. Karena anak-anak pada umumnya suka game ini, jadi mereka sering memainkannya berkali-kali. 'otomatis kemampuan membaca mereka meningkat dengan cepat, walaupun mereka tak suka membaca.
Beberapa waktu lalu diadakan penelitian terhadap 700 anak usia 7 sampai 16 tahun. Lewat hasilnya terungkap bahwa anak-anak pada usia tersebut lebih suka main game berdua atau rame-rame daripada main sendirian. So, siapa bilang gamer itu individualis?
Penelitian lain dilakukan oleh Teachers Evaluating Educational Multimedia (Teem) dari Departemen Pendidikan di Inggris. Profesor Angela McFarlane, Direktur Teem, menegaskan, "Game bernuansa adventure, quest, dan simulasi memiliki banyak manfaat. Game-game ini cukup rumit dan mampu mengembangkan skill-skill penting untuk anak-anak." Tidak termasuk game-game arcade dan shooter, loh.
Bahkan game yang mengandung kekerasan pun memiliki sisi positif, tambah Gee. "Grand Theft Auto 3 tak melulu soal menembak orang," katanya. Ketika game dimulai, karakter Anda baru keluar dari lapas. Anda harus mencarikannya pekerjaan, tapi sayang orang yang Anda kenal semuanya penjahat. Selama game berlangsung memang Anda boleh bertarung dan membunuh orang, tapi itu tidak wajib.
"Game menawarkan banyak pilihan," ujar Gee.Gamer akan menghadapi dilema moral, interaksi sosial, dan juga memecahkan berbagai problem yang sering kali terjadi dalam kehidupan nyata. Begitu tambah Gee. Selain itu game dapat membuat seseorang tertarik pada hal baru.
Habis main game Age of Mythology, kata Gee, anak-anak (seperti anak laki-lakinya yang berumur 8 tahun) mulai suka melihat-lihat buku mitologi di perpustakaan atau chatting dengan grup yang membahas karakter-karakter mitologi. Bagi gamer, sejarah dapat berulang dan hidup kembali lewat game.
Game dan Kesehatan
"Walaupun main game menjadi salah satu hiburan paling populer di dunia dan sudah dilakukan penelitian tentang dampak positif dan negatifnya terhadap player, masih saja game sering kali diremehkan." Itu pernyataan dari Mark Griffiths, profesor di Nottingham Trent University, Inggris. Untuk menyeimbangkan antara pro dan kontra terhadap game, selama lima belas tahun terakhir ini ia melakukan riset. Hasilnya? "Video game aman untuk sebagian besar player dan bermanfaat bagi kesehatan," ujar Griffiths.
Menurut Griffiths, game dapat digunakan sebagai pengalih perhatian yang ampuh bagi anak-anak yang sedang menjalani perawatan yang menimbulkan rasa sakit, misalnya chemotherapy. Dengan main game, rasa sakit dan pening mereka berkurang, tensi darahnya pun menurun, dibandingkan dengan mereka yang hanya istirahat setelah diterapi. Game juga baik untuk fisioterapi pada anak-anak yang mengalami cedera tangan.
Jadi, tak perlu ragu main game! Dari berbagai penelitian dapat disimpulkan bahwa game juga berpengaruh positif kepada anak-anak. Kesimpulannya:
• Merupakan hiburan yang menyediakan fun dan interaksi sosial.
• Membangun spirit teamwork dan kerja samaketika dimainkan dengan gamer-gamer lain.
• Membuat anak-anak merasa nyaman dan familiar dengan teknologi – terutama anak perempuan, yang tidak menggunakan teknologi sesering anak cowok.
• Meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri anak saat mereka mampu menguasai permainan.
• Mengembangkan kemampuan dalam membaca, matematika, dan memecahkan masalah.
• Melatih koordinasi antara mata dan tangan, serta skill motorik.
• Mengakrabkan hubungan anak dan orangtua. Dengan main bersama, terjalin komunikasi satu sama lain.
• Membantu memulihkan kesehatan.
sumber :http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1804921
0 komentar:
Post a Comment