Masjid Timbuktu
Pada masa kekalifahan, Afrika merupakan bagian dari pusat peradaban Islam di dunia. Di kawasan itu pernah tersimpan puluhan ribu naskah, tulisan, ataupun transkrip berbagai ilmu pengetahuan. Sayangnya, seiring dengan meredupnya pengaruh peradaban Islam, kawasan yang dahulunya merupakan pusat kemakmuran itu kini telah tenggelam dan hilang ditelan zaman.
Ini salah satu buktinya. Apakah Anda pernah mendengar nama Timbuktu? Nama itu tentu terdengar begitu asing. Sekarang, tak banyak yang bisa diceritakan dari kota tandus dan gersang yang berlokasi di Mali, Afrika Barat. Dunia saat ini tidak lagi mengenal Timbuktu sebagai pusat peradaban Islam di era modern. Dunia hanya mengenal Timbuktu sebagai kawasan berisikan bangunan antik yang hanya berfungsi sebagai cagar budaya saja.
Salah satu dari sisa-sisa kejayaan tersebut adalah Masjid Djinguereber. Arsitektur bangunan masjid terbesar di Timbuktu ini sangat unik karena dirancang dengan menggunakan material tanah lumpur, dengan arsitektur khas lokal dan warna alamiah cokelat lumpur. Masjid ini dibangun di masa kejayaan Timbuktu.
Di kala zaman keemasan itu, kota ini pernah memiliki sebuah perguruan tinggi dan madrasah tersohor dengan nama Sankore. Universitas Sankore dibangun pada tahun 1581 di atas kota kuno yang telah berdiri sejak abad 13-14. Saat itu, perguruan tinggi ini menjadi pusat pendidikan Islam, dengan kajian utama Alquran, astronomi, logika, serta sejarah. Salah satu tokoh cendekia ternama yang hidup masa itu adalah Ahmad Baba.
Bahkan, kota ini pun pernah menjadi pusat perdagangan yang ramai, hingga sebuah kebakaran hebat memusnahkan seluruh sisa-sisa peradaban yang ada di kota tersebut. Abad ke 15 dan 16 disebut-sebut sebagai masa keemasan Timbuktu. Musafir dari segala penjuru akan menyempatkan diri untuk singgah di kota ini, demi mendapatkan informasi-infiormasi dan pengetahuan baru dari kota tersebut.
Seiring kemajuan Timbuktu, cerita tentang kota itu segera menyebar ke penjuru dunia melalui kisah perjalanan yang ditulis Hasan ibn Muhammed al-Wazzan al-Fasi alias Leo Africanus atau Joannes Leo Africanus. Dalam perjalanannya, Ibnu Battuta juga pernah menyebut kota tersebut.
Kemerosotan kota ini semakin cepat setelah diinvasi oleh tentara kaum Morisco atau kaum Muslim Spanyol dan Portugis yang telah berpindah agama menjadi Katolik saat era penaklukan Spanyol. Mereka menginvasi Timbuktu untuk mendukung kepentingan kesultanan Marokko pada tahun 1591.
0 komentar:
Post a Comment